Mega El Nino dianggap sebagai bahaya baru yang dampaknya bisa setara Great Dying, yakni masa lalu kelam ketika makhluk bumi punah massal.
Peristiwa buruk yang hanya menyisakan segelintir spesies itu berpotensi terulang di masa sekarang. Para ahli mewanti-wanti bahaya itu dibalut dengan peristiwa El Nino modern.
Sebuah tim internasional yang dipimpin Ahli Geologi Universitas Geosains Tiongkok, Yadong Sun, membuat simulasi dari ganasnya bencana 250 juta tahun lalu. Letusan gunung api raksasa di wilayah yang saat ini disebut Siberia melenyapkan hampir seluruh spesies di darat dan laut.
Para ahli mencoba melihat bagaimana pasang surut air laut dan kondisi atmosfer sekarang. Hasilnya, ditemukan sebuah pergeseran zona serupa pada suhu permukaan laut yang tercermin dalam sirkulasi Walker.
Suhu permukaan di Samudra Pasifik mengirim udara yang hangat dan lembap ke arah timur menuju Amerika Selatan. Di lain sisi, hawa kering menuju arah barat yang membuat Australia dan Indonesia kekeringan.
“Peristiwa El Nino ini bermasalah, meski hanya berlangsung selama satu tahun atau dua tahun,” tulis laporan Science Alert, dikutip Sabtu (14/9).
“Perubahan yang sebanding dengan akhir Permian (periode geologi saat terjadi Great Dying) dapat menyebabkan Mega El Nino yang tidak hanya berlangsung lebih lama, tetapi jauh lebih intens,” wanti-wanti para ahli.
Terlebih, saat ini terjadi perubahan cuaca yang tidak menentu. Banjir dan kekeringan seketika kerap melanda sejumlah negara.
Jika peristiwa kepunahan massal pada masa lalu menjadi salah satu acuan, ini mengingatkan bahwa semua spesies di bumi punya batasan.
“Temuan (para ahli) tersebut menempatkan krisis iklim modern ke dalam sudut pandang baru, di mana peristiwa El Nino modern menjadi lebih kuat dan lebih sering, yang berpotensi memengaruhi berbagai ekosistem di seluruh dunia,” tutup laporan tersebut.