Tiga ancaman gempa ‘meneror’ Jakarta, karena sewaktu-waktu bisa mengakibatkan guncangan besar. Simak penjelasannya.
Merujuk data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang dibagikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, dua dari tiga ancaman tersebut merupakan zona megathrust yang mengapit Jakarta.
Tiga ancaman itu adalah zona Megathrust Jawa Barat, Megathrust Selat Sunda, dan sesar aktif di daratan (Sesar Baribis, Sesar Lembang, dan Sesar Cimandiri).
“Jakarta sendiri tidak berada tepat di atas zona megathrust, tetapi guncangan dari gempa besar di zona ini masih bisa terasa di kota tersebut, terutama karena posisi Jakarta yang relatif dekat dengan patahan selatan Jawa,” kata Mohamad Yohan, Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) BPBD DKI Jakarta, dalam keterangannya, Kamis (19/9).
Kedua megathrust yang mengapit Jakarta itu masing-masing memiliki potensi magnitudo M 8,7.
Megathrust Jawa Barat memiliki dimensi dengan panjang 320 km dan lebar 200 km. Segmen megathrust ini tercatat dua kali melepaskan energi besarnya, yakni pada 1903 dengan kekuatan M 81, dan tahun 2006 dengan kekuatan M 7,8.
Sementara, Megathrust Selat Sunda memiliki dimensi panjang 280 km dan lebar 200 km, dan pergeseran (slip rate) 4 cm per tahun. BMKG mencatat gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757, dengan usia seismic gap 267 tahun.
Sedangkan, tiga sesar aktif yang dekat Jakarta juga jadi ancaman serius.
Sesar Baribis misalnya, merupakan sesar utama di utara Jawa Barat. Dari hasil penafsiran foto udara dan citra land-sat, diketahui di bagian utara dijumpai adanya kelurusan regional yang arahnya barat laut tenggara. Arah kelurusan ini selanjutnya menerus ke arah tenggara.
BMKG menyebut di daerah Kadipaten tepatnya di Desa Baribis ditemukan sejumlah bidang sesar dan struktur sesar minor yang memotong tubuh batu-gamping.
Gempa bumi yang cukup signifikan yang bersumber dari sesar ini adalah gempa bumi pada 1862 di Karawang.
Kemudian, Sesar Cimandiri merupakan yang paling tua (berdasarkan umur kapur). Sesar ini membentang mulai dari Teluk Pelabuhan Ratu menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri, Cipatat-Rajamandala, Gunung Tangguban Parahu – Burangrang dan diduga menerus ke timur laut menuju Subang.
Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah timur laut-barat daya dengan jenis sesar mendatar hingga oblique (miring).
Selanjutnya, Sesar Lembang yang terletak di utara Bandung membentang sepanjang kurang lebih 30 kilometer dengan arah barat-timur. Sesar ini berjenis sesar mendatar (strike slip) dengan sedikit ada komponen vertikal.
Gempa bumi akibat sesar lembang pernah terjadi pada 28 Agustus 2011 yang berkekuatan M 3.3 pada kedalaman yang sangat dangkal hingga mengakibatkan dampak signifikan.
Gempa yang terjadi saat itu merusak 384 rumah warga di Kampung Muril, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Kemudian terjadi lagi gempa bumi 14 dan 18 Juni 2017.
Sementara itu, aktivitas kegempaan terbaru yang tercatat pada Sesar Lembang terjadi pada tanggal 13 Desember 2021 dengan kekuatan M 2.5.
Yohan menjelaskan gempa yang dihasilkan dari patahan megathrust dapat memiliki magnitudo sangat besar, bisa mencapai M 8 hingga M 9.
Potensi itu kekhawatiran besar bagi wilayah Jakarta dan sekitarnya karena gempa besar bisa berdampak pada infrastruktur dan populasi yang padat.
“Jika terjadi gempa besar dari zona megathrust, Jakarta bisa merasakan guncangan kuat yang mengancam infrastruktur bangunan, khususnya bangunan yang tidak memenuhi standar tahan gempa,” kata Yohan.
Selain itu, kondisi tanah di Jakarta yang banyak terdiri dari tanah aluvial dan bekas lahan rawa memperparah dampak guncangan.
Mantan Ketua Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA) Subardjo dalam acara Sarasehan Nasional IKAMEGA pada 2018 silam, juga mengungkap bahaya yang mengancam apabila Jakarta diguncang dengan kekuatan besar.
Menurutnya, tanah lunak ini lebih mudah mengalami likuifaksi atau pencairan tanah akibat getaran yang bisa menambah kerusakan.