Pemerintah Lirik PLTN, DPR Ingatkan Sumber Energi Baru

Pemerintah Lirik PLTN, DPR Ingatkan Sumber Energi Baru

Setelah gagal berkali-kali direalisasikan pemerintah akhirnya kembali menargetkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) masuk dalam komponen penyumbang energi Indonesia selambatnya mulai 2032.

Rencana pembangunan Reaktor Modular Kecil (small modular reactor) berkekuatan 250 MW dijadwalkan dimulai 2027. Rencana pemanfaatan nuklir sebagai sumber energi alternatif ini diambil karena upaya menyediakan energi non-fosil tak kunjung maju sementara Indonesia telanjur punya komitmen Emisi Bersih Nol (Net Zero Emission) tahun 2060.

“Untuk menggantikan PLTU untuk operasi based load (beban dasar) yang kontinyu sulit untuk dipenuhi dari sumber energi lain karena sifat dari energi terbarukan baik solar maupun angin yang intermittent, hanya besar di waktu-waktu tertentu dan hilang di waktu lain,” kata Anggota Komisi VII DPR yang membidangi isu energi, Mulyanto.

Anggota Fraksi PKS ini juga mengatakan listrik dari energi surya di Indonesia masih terkendala teknologi baterai untuk penyimpanan daya besar yang belum ada. Sementara itu sumber energi lain seperti mikrohidro maupun panas bumi justru berada di lokasi jauh dari sumber permintaan listrik.

Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiani membenarkan alasan tersebut. Meski fokus pemerintah masih pada pengembangan listrik dari EBT, namun pasokannya masih dirasa belum cukup untuk memenuhi target 2060.

“Jika dilihat lebih jauh dalam NZE, kita akan habis menggunakan geothermal dan hydro, sehingga tambahannya adalah nuklir,” kata Eniya pada CNN Indonesia.

Pertumbuhan pasokan listrik dari EBT berjalan sangat lambat di Indonesia. Sejak dicanangkan sebagai sumber energi alternatif tahun 2018, target pencapaian EBT selalu meleset. Terakhir akhir 2023 pemerintah menurunkan target capaian dari 21 persen menjadi 17 persen sampai 2025.

Dalam Kebijakan Energi Nasional, PLTN pertama ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2032 dengan kapasitas 250 MW. Melihat skalanya, kapasitas tersebut masuk dalam kategori SMR.

Eniya mengatakan opsi SMR dipilih sebagai proyek awalan mengingat banyaknya persispan yang harus dilakukan pemerintah sebelum eksekusi rencana ini.

“Berdasarkan pengalaman selama ini di negara lain, PLTN berskala besar (kapasitas 1 GW ke atas) dibangun selama kurun waktu 7-10 tahun. Sedangkan, untuk PLTN pertama, Indonesia akan menggunakan PLTN dengan skala Small Modular Reactor (kapasitas dibawah 300 MW) yang diperkirakan waktu pembangunannya sekitar 5 tahun,” kata Eniya.

“Belum menentukan model SMR ini dari teknologi yang mana. Dan dengan pendingin model HTGR ataupun Moltensalt. Dan dengan bahan baku jenis apa, Uranium atau Thorium atau sejenisnya,” lanjut dia.

Meski mulai menyiapkan rencana untuk membangun PLTN, Eniya mengatakan energi nuklir sementara inj bersifat tambahan di luar fokus pada EBT utama yakni tenaga surya, bayu dan panas bumi.

“Namun jika dilihat lebih jauh dalam Net Zero Emission (target emisi bersih nol), kita akan habis menggunakan geothermal dan hydro, sehingga tambahannya adalah nuklir,” tambah Eniya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *