Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun AI memiliki potensi besar untuk membantu manusia, risiko terhadap privasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga menjadi ancaman nyata.
Saurlin menyoroti bagaimana teknologi AI telah membawa kemudahan yang luar biasa. Contohnya adalah kemampuan AI untuk mengubah buku tebal menjadi presentasi singkat atau bahkan podcast.
Namun, di balik inovasi tersebut, terdapat ancaman bias algoritmik yang dapat memperkuat diskriminasi dan pelanggaran privasi.
“Kita menulis sesuatu, itu bisa dikutip bulat-bulat oleh AI, lalu itu diseberluaskan sedemikian rupa, seperti kebenaran. Padahal saya, misalnya secara sengaja, menulis secara keliru misalnya begitu.Nah itu, AI menggunakan hal-hal seperti itu yang juga saya kira sangat berbahaya,” ujar Saurlin, Kamis (12/12).
Saurlin menekankan bahwa di era digital, privasi warga negara menjadi semakin rentan. Ia khawatir data pribadi yang dikumpulkan oleh platform digital tidak terlindungi dengan baik sehingga berpotensi disalahgunakan.
“Siapa yang mengawasi bahwa itu (data pribadi) tidak dipakai oleh pihak lain dan di-copy oleh pihak lain yang punya akses? Nah dunia kita memang menurut saya sedang dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan juga dalam konteks keamanan digital. Tidak ada yang aman, saya kira. Tidak ada yang aman, apalagi kalau kita lihat kemarin kebocoran-kebocoran itu ya,” jelasnya.
Saurlin menggarisbawahi perlunya regulasi yang lebih kuat untuk mengatur penggunaan AI di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa pemerintah harus segera menyusun kebijakan yang memastikan hak-hak digital masyarakat terpenuhi. Selain itu, sektor bisnis juga memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi data pribadi dan memastikan penggunaan teknologi yang etis.
“Kalau di Eropa ada digital security. Lebih pada security. Saya kira kajian ini penting untuk Indonesia, untuk mempertegas peran negara terkait hak-hak digital dan perlindungannya di Indonesia,”
Saurlin juga menyoroti bahwa pemerintah perlu melakukan revisi regulasi supaya tidak ketinggalan dari negara-negara lain. Karena RI, menurut Saurlin, masih sangat lemah terkait regulasi hak-hak digital.
“Lalu, tentu perlu pemerintah melakukan regulasi supaya jangan ketinggalannya. Bagaimana regulasi kita masih sangat lemah terkait ini. Memang sudah ada undang-undang, tapi saya kira perlu direvisi, diperbaiki,” jelas Saurlin.