Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria mengaku tengah mengkaji usulan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) tentang pengaturan platform digital pada draf Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran.
“Kementerian Kominfo masih mengkaji secara detail seluruh usulan dari ATVSI yang memperhatikan proses legislasi RUU penyiaran di DPR,” ujar Nezar di Jakarta, Rabu (3/7) dikutip dari Antara.
Platform digital yang dimaksud termasuk Netflix, YouTube, dkk.
Nezar melanjutkan ATVSI telah menyampaikan pandangan tertulis mereka mengenai beberapa isu dalam draf RUU Penyiaran.
Dalam pandangan tertulis tersebut, ATVSI menekankan pentingnya pengaturan platform digital melalui redefinisi kata penyiaran dan mewajibkan platform digital untuk memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran dari pemerintah.
Nezar mengatakan pihaknya sedang mengkaji usulan tersebut dengan memperhatikan proses legislasi di DPR.
Secara umum, kata dia, perubahan terhadap definisi penyiaran dengan tujuan agar platform digital menjadi subjek yang harus memperoleh izin dari pemerintah, bakal mengubah secara fundamental cara pandang dan perlakuan pemerintah terhadap platform digital dan seluruh ekosistemnya.
Hal itu termasuk para konten kreator yang menyalurkan kebebasan berekspresi mereka melalui platform-platform digital.
Ia mengatakan dengan perubahan filosofi ini pemerintah juga harus memikirkan berbagai konsekuensi terhadap tugas dan fungsi lembaga-lembaga negara.
Termasuk di antaranya administrasi penyelenggaraan perizinan, pengawasan, dan pengendalian hingga bagaimana menyiapkan kelembagaan dan sumber daya agar tugas dan fungsi baru tersebut dapat dijalankan.
Sudah sejak 2008
Nezar mengatakan pengaturan platform digital di Indonesia tidak dimulai dari nol. Sejak pemberlakuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada 2008, beberapa regulasi telah diterapkan.
Pertama, penyelenggara sistem elektronik diwajibkan mendaftar ke Kementerian Kominfo, dan platform digital seperti Vidio, Viu, Mola, YouTube, dan Netflix telah mematuhi ketentuan ini.
Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran juga telah mengatur prinsip kerja sama antara perusahaan platform digital dan penyelenggara telekomunikasi.
Kementerian Keuangan sejak tahun 2022 juga telah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik dari luar negeri.
“Keempat, di awal tahun ini Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 telah mewajibkan agar platform digital memberikan nilai ekonomi atas berita yang ditautkan dari perusahaan pers Indonesia,” ujarnya.
Saat ini, kata dia, adalah momen yang tepat bagi pelaku industri dan pemerintah untuk melakukan peninjauan dan mempersiapkan langkah kebijakan selanjutnya yang lebih tepat dan spesifik terhadap platform digital.
Menurutnya, posisi Kominfo adalah memperhatikan kepentingan seluruh elemen pemangku kepentingan penyiaran mulai dari induk stasiun TV berjaringan yang berbasis di Jakarta sampai dengan radio komunitas yang bersiaran di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
“(Hal itu) agar dengan transformasi digital agar tetap relevan dengan perubahan zaman dan secara usaha secara bisnis dapat berkesinambungan dari iklim usaha yang lebih sehat,” ujar Nezar.
Enggak masuk akal
Lembaga pemantau penyiaran Remotivi, dikutip dari situsnya, menuturkan draf RUU Penyiaran memang hendak mengatur kedua jenis platform digital, baik over the top (OTT) seperti Netflix, Prime Video, Disney+, maupun user-generated content (UGC) seperti YouTube dan Spotify.
Hal itu terungkap pada halaman 26 Naskah Akademik RUU yang menjelaskan bahwa platform digital belum cukup diregulasi layaknya lembaga penyiaran tradisional.
“Ketidakadilan juga terjadi pada pengawasan materi siaran. Penyelenggaraan penyiaran selama ini dilakukan oleh lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan, wajib memiliki tanda lulus sensor dari LSF, dan pengawasan isi siaran dari KPI dan KPID,” demikian bunyi naskah itu.
“Sedangkan penyelenggaraan platform digital penyiaran, untuk kategori audio visual antara lain dilakukan oleh YouTube, Crackle, Netflix, Googleplay, Huluplus, dan Amazon Video, serta kategori audio antara lain dilakukan oleh Spotify, Pandora, Amazon Cloud Player, Deeser, dan iTunes Match, tidak ada panduan produksi siaran yang harus dipatuhi dan tidak ada lembaga pengawas siaran.”
Menurut Remotivi, niat untuk menjadikan konten digital bagian dari “penyiaran” tidak masuk akal karena platform digital dan lembaga penyiaran konvensional memiliki logika teknologi yang berbeda.
Pertama, lembaga penyiaran konvensional memakai frekuensi pemancaran yang sifatnya terbatas, sedangkan platform digital memakai internet yang sifatnya hampir tak terbatas.
Kedua, konsumsi konten penyiaran konvensional bersifat “serempak”, sedangkan konsumsi konten pada platform digital umumnya bersifat “on-demand.”
“Perbedaan logika teknologi ini mengakibatkan perbedaan dalam besaran agensi yang dimiliki publik dalam memilih atau menyaring tontonan,” menurut lembaga tersebut.
Dalam penyiaran konvensional, agensi publik jauh lebih kecil karena sifatnya yang “terbatas” dan “serempak”.