Sebuah studi terbaru mengungkap Bumi pernah memiliki cincin seperti Planet Saturnus sekitar 466 juta tahun yang lalu. Cek penjelasan pakar.
Para pakar menjelaskan cincin ini terbentuk setelah Bumi menangkap dan menghancurkan asteroid yang melintas.
Cincin dari puing-puing tersebut diperkirakan menemani Bumi selama puluhan juta tahun. Studi tersebut juga menyebut kemungkinan cincin ini menyebabkan pendinginan global dan bahkan berkontribusi pada periode terdingin di Bumi dalam 500 juta tahun terakhir.
Para peneliti menemukan cincin ini berdasarkan analisis terbaru dari 21 situs kawah di seluruh dunia yang diduga tercipta oleh puing-puing yang jatuh dari asteroid besar antara 488 juta hingga 443 juta tahun yang lalu. Periode waktu ini dalam sejarah Bumi dikenal dengan sebutan Ordovisium, di mana planet kita mengalami dampak asteroid yang meningkat secara dramatis.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Andy Tomkins, profesor ilmu planet di Monash University di Australia, menggunakan model komputer untuk memetakan pergerakan lempeng tektonik planet kita di masa lalu dan memetakan lokasi kawah-kawah tersebut saat pertama kali terbentuk lebih dari 400 juta tahun yang lalu.
Tim kemudian menemukan bahwa semua kawah terbentuk di benua-benua yang mengambang dalam jarak 30 derajat dari khatulistiwa, yang menunjukkan bahwa kawah-kawah tersebut terbentuk dari puing-puing jatuhnya asteroid besar yang pecah setelah nyaris bertabrakan dengan Bumi.
“Dalam keadaan normal, asteroid yang menghantam Bumi bisa menghantam di garis lintang mana saja, secara acak, seperti yang kita lihat pada kawah-kawah di Bulan, Mars, dan Merkurius,” tulis Tomkins, mengutip Space, Jumat (20/9).
“Jadi, sangat tidak mungkin bahwa ke-21 kawah dari periode ini akan terbentuk di dekat khatulistiwa jika mereka tidak terkait satu sama lain,” tambahnya.
Para peneliti menyebut rangkaian lokasi kawah yang semuanya berada di sekitar khatulistiwa konsisten dengan cincin puing-puing yang mengorbit Bumi.
Hal tersebut dikarenakan cincin-cincin ini biasanya terbentuk di atas ekuator planet, seperti yang terjadi pada cincin-cincin yang mengitari Saturnus, Jupiter, Uranus, dan Neptunus. Kemungkinan lokasi tumbukan ini terbentuk akibat tumbukan asteroid acak yang tidak berkaitan adalah sekitar 1 banding 25 juta.
Dalam jurnal Earth and Planetary Science Letters, para peneliti memperkirakan asteroid yang menghasilkan cincin itu akan memiliki lebar sekitar 12,5 kilometer jika berupa tumpukan puing-puing, atau sedikit lebih kecil jika berupa benda padat.
Tomkins mengatakan ketika asteroid hancur setelah mendekati Bumi, pecahan-pecahannya lalu “berdesak-desakan” sebelum mengendap menjadi cincin puing-puing yang mengorbit di khatulistiwa Bumi.
“Selama jutaan tahun, material dari cincin ini secara bertahap jatuh ke Bumi, menciptakan lonjakan dampak meteorit yang teramati dalam catatan geologi,” terang Tomkins.
“Kami juga melihat bahwa lapisan-lapisan batuan sedimen dari periode ini mengandung puing-puing meteorit dalam jumlah yang luar biasa,” lanjutnya.
Lebih lanjut, tim peneliti menemukan bahwa puing-puing ini mewakili jenis meteorit tertentu dan ditemukan berlimpah di endapan batu kapur di seluruh Eropa, Rusia, dan China. Puing ini juga ditemukan telah terpapar radiasi luar angkasa yang jauh lebih sedikit daripada meteorit yang jatuh saat ini.
Endapan tersebut juga menunjukkan adanya tanda-tanda beberapa tsunami selama periode Ordovisium, yang semuanya dapat dijelaskan dengan baik oleh skenario penangkapan dan penghancuran asteroid yang besar dan melintas.
Studi ini juga mengungkap jika Bumi memiliki cincin mirip Saturnus di sekeliling ekuatornya, maka cincin tersebut mungkin akan mempengaruhi iklim planet kita secara signifikan. Pasalnya, sumbu Bumi miring relatif terhadap orbitnya mengelilingi Matahari, dan cincin tersebut akan membayangi sebagian permukaan planet kita yang mungkin menyebabkan pendinginan global.
Namun, para peneliti mengatakan hal tersebut masih belum jelas.